Rabu, 16 September 2009

PARIWISATA
www.ikeysukabumi.blogspot.com
ikey.mobilesports@gmail.com

Pengertian pariwisata
a. Menurut Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang Kepariwisataan Bab I Pasal 1 ; dinyatakan bahwa:
Wisata adalah kegiatan perjalanan atau sebagian dari kegiatan tersebut yang dilakukan secara sukarela serta bersifat sementara untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata
Jadi pengertian wisata itu mengandung unsur yaitu :
(1) Kegiatan perjalanan;
(2) Dilakukan secara sukarela;
(3) Bersifat sementara;
(4) Perjalanan itu seluruhnya atau sebagian bertujuan untuk menikmati obyek dan daya tarik wisata.
Berkaitan dengan istilah pariwisata ini terdapat berbagai pandangan yang berbeda dalam pendefinisiannya, tergantung kepada dari sisi mana mereka memandang dan bagaimana cara pendekatannya.

b. Menurut Goeldner Cs.(2000)
Parawisata adalah kombinasi aktivitas, pelayanan dan industri yang menghantarkan pengalaman perjalanan: transportasi, akomodasi, usaha makanan dan minimuan, toko, hiburan, fasilitas aktivitas dan pelayanan lainnya yang tersedia bagi perorangan atau grup yang sedang melakukan perjalanan jauh dari rumah
c. Robert McIntosh bersama Shaskinant Gupta dalam Oka A.Yoeti (1992:8)
Pariwisata adalah gabungan gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan rumah serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani wisatawan-wisatawan serta para pengunjung lainnya.
d. Richard Sihite dalam Marpaung dan Bahar ( 2000:46-47)
Pariwisata adalah suatu perjalanan yang dilakukan orang untuk sementara waktu, yang diselenggarakan dari suatu tempat ke tempat lain meninggalkan tempatnya semula, dengan suatu perencanaan dan dengan maksud bukan untuk berusaha atau mencari nafkah di tempat yang dikunjungi, tetapi semata-mata untuk menikmati kegiatan pertamsyaan dan rekreasi atau untuk memenuhi keinginan yang beraneka ragam.
e. H.Kodhyat (1983:4)
Pariwisata adalah perjalanan dari satu tempat ke tempat yang lain, bersifat sementara, dilakukan perorangan maupun kelompok, sebagai usaha mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup dalam dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu.
f. James J.Spillane (1982:20)
Pariwisata adalah kegiatan melakukan perjalanan dengan tujuan mendapatkan kenikmatan, mencari kepuasan, mengetahui sesuatu, memperbaiki kesehatan, menikmati olahraga atau istirahat, menunaikan tugas, berziarah dan lain-lain.
g. Salah Wahab (1975:55)
Pariwisata adalah salah satu jenis industri baru yang mampu mempercepat pertumbuhan ekonomi dan penyediaan lapangan kerja, peningkatan penghasilan, standar hidup serta menstimulasi sektor-sektor produktif lainnya. Selanjutnya, sebagai sektor yang komplek, pariwisata juga merealisasi industri-industri klasik seperti industri kerajinan tangan dan cinderamata, penginapan dan transportasi.


B. Etika Perencanaan Suatu Kawasan Wisata.
a. Syamsu, dkk (2001) mengatakan :
Bahwa Perencanaan pengembangan suatu kawasan wisata memerlukan tahapan-tahapan pelaksanaan seperti: Marketing Research, Situational Analysis, Marketing Target, Tourism Promotion, pemberdayaan masyarakat dan swasta dalam promosi dan Marketing. Lebih lanjut dijelaskan, untuk menjadikan suatu kawasan menjadi objek wisata yang berhasil haruslah memperhatikan faktor-faktor sebagai berikut.
1) Faktor kelangkaan (Scarcity) yakni: sifat objek/atraksi wisata yang tidak dapat dijumpai di tempat lain, termasuk kelangkaan alami maupun kelangkaan ciptaan.
2) Faktor kealamiahan (Naturalism) yakni: sifat dari objek/atraksi wisata yang belum tersentuh oleh perubahan akibat perilaku manusia. Atraksi wisata bisa berwujud suatu warisan budaya, atraksi alam yang belum mengalami banyak perubahan oleh perilaku manusia.
3) Faktor Keunikan (Uniqueness) yakni sifat objek/atraksi wisata yang memiliki keunggulan komparatif dibanding dengan objek lain yang ada di sekitarnya.
4) Faktor pemberdayaan masyarakat (Community empowerment). Faktor ini menghimbau agar masyarakat lokal benar-benar dapat diberdayakan dengan keberadaan suatu objek wisata di daerahnya, sehingga masyarakat akan memiliki rasa memiliki agar menimbulkan keramahtamahan bagi wisatawan yang berkunjung.
5) Faktor Optimalisasi lahan (Area optimalsation) maksudnya adalah lahan yang dipakai sebagai kawasan wisata alam digunakan berdasarkan pertimbangan optimalisasi sesuai dengan mekanisme pasar. Tanpa melupakan pertimbangan konservasi, preservasi, dan proteksi.
6) Faktor Pemerataan harus diatur sedemikian rupa sehingga menghasilkan manfaat terbesar untuk kelompok mnasyarakat yang paling tidak beruntung serta memberikan kesempatan yang sama kepada individu sehingga tercipta ketertiban masyarakat tuan rumah menjadi utuh dan padu dengan pengelola kawasan wisata.
C. Pariwisata Berkelanjutan
a. Menutut Ardiwidjaja (2003), mengatakan :
Bahwa berkelanjutan dapat diartikan kelestarian yang menyangkut aspek fisik, sosial, dan politik dengan memperhatikan pengelolaan sumber daya alam (resources management) yang mencakup hutan, tanah, dan air, pengelolaan dampak pembangunan terhadap lingkungan, serta pembangunan sumber daya manusia (human resources development).
b. Sedangkan Swarbrooke (1998), mengatakan :
bahwa pada hakekatnya pariwisata berkelanjutan harus terintegrasi pada tiga dimensi. Tiga dimensi tersebut adalah ;
1) dimensi lingkungan,
2) dimensi ekonomi, dan
3) dimensi sosial.
Selanjutnya berdasarkan konteks pembangunan berkelanjutan, pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai: pembangunan kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap memperhatikan kelestarian (conservation, environmental dimention), memberi peluang bagi generasi muda untuk memanfaatkan (economic dimention) dan mengembangkannya berdasarkan tatanan social ( social dimention ) yang telah ada.
D. Jenis-jenis Pariwisata
a. Menurut Pendit (1994), pariwisata dapat dibedakan menurut motif wisatawan mengunjungi suatu tempat. Jenis-jenis pariwisata tersebut adalah sebagai berikut :
1. Wisata Budaya
Yaitu perjalanan yang dilakukan atas dasar keinginan untuk memperluas pandangan hidup seseorang dengan jalan mengadakan kunjungan atau peninjauan ketempat lain atau ke luar negeri, mempelajari keadaan rakyat, kebiasaan adat istiadat mereka, cara hidup mereka, budaya dan seni mereka. Seiring perjalanan serupa ini disatukan dengan kesempatan–kesempatan mengambil bagian dalam kegiatan–kegiatan budaya, seperti eksposisi seni (seni tari, seni drama, seni musik, dan seni suara), atau kegiatan yang bermotif kesejarahan dan sebagainya.
2. Wisata Maritim atau Bahari
Jenis wisata ini banyak dikaitkan dengan kegiatan olah raga di air, lebih–lebih di danau, pantai, teluk, atau laut seperti memancing, berlayar, menyelam sambil melakukan pemotretan, kompetisi berselancar, balapan mendayung, melihat–lihat taman laut dengan pemandangan indah di bawah permukaan air serta berbagai rekreasi perairan yang banyak dilakukan didaerah–daerah atau negara–negara maritim, di Laut Karibia, Hawaii, Tahiti, Fiji dan sebagainya. Di Indonesia banyak tempat dan daerah yang memiliki potensi wisata maritim ini, seperti misalnya Pulau–pulau Seribu di Teluk Jakarta, Danau Toba, pantai Pulau Bali dan pulau–pulau kecil disekitarnya, taman laut di Kepulauan Maluku dan sebagainya. Jenis ini disebut pula wisata tirta.


3. Wisata Cagar Alam (Taman Konservasi)
Untuk jenis wisata ini biasanya banyak diselenggarakan oleh agen atau biro perjalanan yang mengkhususkan usaha–usaha dengan jalan mengatur wisata ke tempat atau daerah cagar alam, taman lindung, hutan daerah pegunungan dan sebagainya yang kelestariannya dilindungi oleh undang–undang. Wisata cagar alam ini banyak dilakukan oleh para penggemar dan pecinta alam dalam kaitannya dengan kegemaran memotret binatang atau marga satwa serta pepohonan kembang beraneka warna yang memang mendapat perlindungan dari pemerintah dan masyarakat. Wisata ini banyak dikaitkan dengan kegemaran akan keindahan alam, kesegaran hawa udara di pegunungan, keajaiban hidup binatang dan marga satwa yang langka serta tumbuh–tumbuhan yang jarang terdapat di tempat–tempat lain. Di Bali wisata Cagar Alam yang telah berkembang seperti Taman Nasional Bali Barat dan Kebun Raya Eka Karya
4. Wisata Konvensi
Yang dekat dengan wisata jenis politik adalah apa yang dinamakan wisata konvensi. Berbagai negara pada dewasa ini membangun wisata konvensi ini dengan menyediakan fasilitas bangunan dengan ruangan–ruangan tempat bersidang bagi para peserta suatu konfrensi, musyawarah, konvensi atau pertemuan lainnya baik yang bersifat nasional maupun internasional. Jerman Barat misalnya memiliki Pusat Kongres Internasiona (International Convention Center) di Berlin, Philipina mempunyai PICC (Philippine International Convention Center) di Manila dan Indonesia mempunyai Balai Sidang Senayan di Jakarta untuk tempat penyelenggaraan sidang–sidang pertemuan besar dengan perlengkapan modern. Biro konvensi, baik yang ada di Berlin, Manila, atau Jakarta berusaha dengan keras untuk menarik organisasi atau badan–badan nasional maupun internasional untuk mengadakan persidangan mereka di pusat konvensi ini dengan menyediakan fasilitas akomodasi dan sarana pengangkutan dengan harga reduksi yang menarik serta menyajikan program–program atraksi yang menggiurkan.
5. Wisata Pertanian (Agrowisata)
Sebagai halnya wisata industri, wisata pertanian ini adalah pengorganisasian perjalanan yang dilakukan ke proyek–proyek pertanian, perkebunan, ladang pembibitan dan sebagainya dimana wisatawan rombongan dapat mengadakan kunjungan dan peninjauan untuk tujuan studi maupun melihat–lihat keliling sambil menikmati segarnya tanaman beraneka warna dan suburnya pembibitan berbagai jenis sayur–mayur dan palawija di sekitar perkebunan yang dikunjungi.
6. Wisata Buru
Jenis ini banyak dilakukan di negeri–negeri yang memang memiliki daerah atau hutan tempat berburu yang dibenarkan oleh pemerintah dan digalakan oleh berbagai agen atau biro perjalanan. Wisata buru ini diatur dalam bentuk safari buru ke daerah atau hutan yang telah ditetapkan oleh pemerintah negara yang bersangkutan, seperti berbagai negeri di Afrika untuk berburu gajah, singa, ziraf, dan sebagainya. Di India, ada daerah–daerah yang memang disediakan untuk berburu macan, badak dan sebagainya, sedangkan di Indonesia, pemerintah membuka wisata buru untuk daerah Baluran di Jawa Timur dimana wisatawan boleh menembak banteng atau babi hutan.
7. Wisata Ziarah
Jenis wisata ini sedikit banyak dikaitkan dengan agama, sejarah, adat istiadat dan kepercayaan umat atau kelompok dalam masyarakat. Wisata ziarah banyak dilakukan oleh perorangan atau rombongan ke tempat–tempat suci, ke makam–makam orang besar atau pemimpin yang diagungkan, ke bukit atau gunung yang dianggap keramat, tempat pemakaman tokoh atau pemimpin sebagai manusia ajaib penuh legenda. Wisata ziarah ini banyak dihubungkan dengan niat atau hasrat sang wisatawan untuk memperoleh restu, kekuatan batin, keteguhan iman dan tidak jarang pula untuk tujuan memperoleh berkah dan kekayaan melimpah. Dalam hubungan ini, orang–orang Khatolik misalnya melakukan wisata ziarah ini ke Istana Vatikan di Roma, orang–orang Islam ke tanah suci, orang–orang Budha ke tempat–tempat suci agama Budha di India, Nepal, Tibet dan sebagainya. Di Indonesia banyak tempat–tempat suci atau keramat yang dikunjungi oleh umat–umat beragama tertentu, misalnya seperti Candi Borobudur, Prambanan, Pura Basakih di Bali, Sendangsono di Jawa Tengah, makam Wali Songo, Gunung Kawi, makam Bung Karno di Blitar dan sebagainya. Banyak agen atau biro perjalanan menawarkan wisata ziarah ini pada waktu–waktu tertentu dengan fasilitas akomodasi dan sarana angkuatan yang diberi reduksi menarik ke tempat–tempat tersebut di atas. Sesungguhnya daftar jenis–jenis wisata lain dapat saja ditambahkan di sini, tergantung kapada kondisi dan situasi perkembangan dunia kepariwisataan di suatu daerah atau negeri yang memang mendambakan industri pariwisatanya dapat meju berkembang. Pada hakekatnya semua ini tergantung kepada selera atau daya kreativitas para ahli profesional yang berkecimpung dalam bisnis industri pariwisata ini. Makin kreatif dan banyak gagasan–gagasan yang dimiliki oleh mereka yang mendedikasikan hidup mereka bagi perkembangan dunia kepariwisataan di dunia ini, makin bertambah pula bentuk dan jenis wisata yang dapat diciptakan bagi kemajuan industri ini, karena industri pariwisata pada hakikatnya kalau ditangani dengan kesungguhan hati mempunyai prospektif dan kemungkinan sangat luas, seluas cakrawala pemikiran manusia yang melahirkan gagasan–gagasan baru dari waktu–kewaktu. Termasuk gagasan–gagasan untuk menciptakan bentuk dan jenis wisata baru tentunya.
b. menurut kajian para ahli ekonomi dan sosiologi bahwa jenis pariwisata bisa dibedakan, sebagai berikut :
 Pleasure Tourism
 Recreation Tourism
 Cultural Tourism
 Sports Tourism
 Business Tourism
 Covention Tourism
1. PARIWISATA UNTUK MENIKMATI PERJALANAN (PLEASURE TOURISM)
Bentuk pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang meninggalkantempat tinggalnya untuk berlibur, untuk mencari udara segar yang baru,untuk memenuhi kehendak ingin-tahunya, untuk mengendorkan ketegangan sarafnya, untuk melihat sesuatu yang baru, untuk menikmati keindahan alam, untuk mengetahui hikayat rakyat setempat, untuk mendapatkan ketenangan dan kedamaian di daerah luar kota, atau bahkan sebaHknya untuk menikmati hiburan di kota-kota besar ataupun untuk ikut serta dalam keramaian pusat-pusat wisatawan. Sementara orang mengadakan perjalanan semata-mata untuk menikmati tempat-tempat atau alam lingkungan yang jelas berbeda antara satu dengan lainnya. Yang lain akan bangga jika dapat mengirirnkan gambar-gambar untuk menyatakan bahwa telah begitu banyak kota maupun negara yang telah dikunjungi. Jenis pariwisata ini menyangkut begitu banyak unsur yang sifatnya berbeda-beda, disebabkan pengertian pleasure akan selalu berbeda kadar pemuasnya sesuai dengan karakter, cita rasa, latar belakang kehidupan, serta temperamen masing-masing individu.
2. PARIWISATA UNTUK REKREASI (RECREATION TOURISM)
Jenis pariwisata ini dilakukan oleh orang-orang yang menghendaki pemanfaatan hari-hari liburnya untuk beristirahat, untuk memulihkan kembali kesegaran jasmani dan rohaninya, yang ingin menyegarkan keletihan dan kelelahannya. Biasanya, mereka tinggal selama mungkin di tempat-tempat yang dianggapnya benar-benar menjamin tujuan-tujuan rekreasi tersebut (misalnya di tepi pantai, di pegunungan, di pusat-pusat peristira-hatan atau pusat-pusat kesehatan) dengan tujuan menernukan kenikmatan yang diperlukan. Dengan kata lain mereka lebih menyukai health resorts.Termasuk dalam kategori ini ialah mereka yang karena alasan kesehatan dan kesembuhan harus tinggal di tempat-tempat yang khusus untuk memulihkan kesehatannya, seperti di daerah surnber-surnber air panas dan lain-lain.
3. PARIWISATA UNTUK KEBUDAYAAN (CULTURAL TOURISM)
Jenis ini ditandai oleh adanya rangkaian motivasi, seperti keinginan untuk belajar di pusat-pusat pengajaran dan riset, untuk mempelajari adat-istiadat, kelembagaan. dan cara hidup rakyat negara lain; untuk mengunjungi monumen bersejarah, peninggalan peradabao masa lalu atau sebaliknya penenuan-penemuan besar masa kini, pusat-pusat kesenian, pusat-pusatkeagamaan; atau juga untuk ikut serta dalarn festival-festival seni musik, teater, tarian rakyat dan lain-lain.
4. PARIWISATA UNTUK OLAH RAGA (SPORTS TOURISM)
Jenis ini dapat dibagi dalam dua kategori:
a) Big Sports Events, yaitu peristiwa-peristiwa olah raga besar seperti Olympiade Games, kejuaraan ski dunia, kejuaraan tinju dunia, dan lain-lain yang menarik perhatian tidak hanya pada olah ragawannya sendiri, tetapi juga ribuan penonton atau penggemarnya.
b) Sporting Tourism of the Practitioners, yaitu pariwisata olah raga bagi mereka yang ingin berlatih dan mempraktekkan sendiri, seperti pendakian gunung, olah raga naik kuda, berburu, memancing, dan lain-lain. Negara yang memiliki banyak fasilitas atau tempat-tempat olah raga seperti ini tentu dapat menarik sejumlah besar penggemar jenis olahraga pariwisata ini.
5. PARIWISATA UNTUK URUSAN USAHA DAGANG (BUSINESS TOURISM)
Seperti disebutkan di muka, jenis pariwisata ini telah menimbulkan berbagai persoalan. Banyak ahli teori, ahli sosiologi maupun ekonomi beranggapan bahwa perjalanan untuk keperluan usaha tidak dapat dianggap sebagai perjalanan wisata karena unsur voluntary atau sukarela tidak terlibat. Menurut para ahli teori, perjalanan usaha ini adalah bentuk profesional travel atau perjalanan karena ada kaitannya dengan pekerjaan atau jabatan yang tidak memberikan kepada pelakunya baik pilihan daerah tujuan maupun pilihan waktu perjalanan. Ide pilihan yang dianggap fundamental dari individual liberty atau kebebasan individu yang merupakan bagian penting dari pariwisata tidak nampak. Dalam istilah business tourism tersirat tidak hanya professional trips yang dilakukan kaum pengusaha atau industrialis, tetapi juga mencakup semua kunjungan ke pameran, kunjungan ke instalasi teknis yang bahkan menarik orang-orang di luar profesi ini. Juga haras puia diperhatikan bahwa kaum pengusaha tidak hanya bersikap dan berbuat sebagai konsumen, tetapi dalam waktu-waktu bebasnya, sering berbuat sebagai wisatawan biasa dalam pengeitian sosiologis karena mengambil dan memanfaatkan keuntJLmgan dari atraksi yang terdapat di negara lain tersebut.
6. PARIWISATA UNTUK BERKONVENSI (CONVENTION TOURISM)
Peranan jenis pariwisata ini makin lama makin penting. Tanpa menghitung banyaknya konvensi atau konferensi nasional, banyaknya simposium maupun sidang yang diadakan setiap tahun di berbagai negara pada tahun 1969 telah ditaksir sebanyak 3.500 konferensi internasional. Jumlah setiap tahunnya terus meningkat dan diperkirakan mencapai angka 9.500 untuk tahun 1975 dan 19.000 konferensi internasional untuk tahun 1980. Di samping itu, perlu ditambahkan pula adanya berbagai perternuan dari badan-badan atau organisasi internasional. Konvensi dan perternuan bentuk ini sering dihadiri oleh ratusan dan bahkan ribuan peserta yang biasanya tinggal beberapa hari di kota atau negara penyelenggara. Jika pada taraf-taraf perkembangannya konvensi-konvensi semacam itu hanya dilakukan secara tradisional di beberapa kota tertentu, maka sekarang berbagai tourist resorts atau daerah-daerah wisata banyak yang menawarkan diri untuk dijadikan tempat konferensi. Bahkan untuk tujuan tersebut telah ada beberapa negara seperti Belgia maupun Francis yang membentuk asosiasi-asosiasi sebagai sarana yang dianggap penting untuk mencapai tingkatpengisian kamar-kamar yang layak pada hotel-hotel mereka, terutama pada musim-musim menurunnya jumlah wisatawan yang masuk ke negara-negara tersebut. Banyak negara yang menyadari besarnya potensi ekonomi darijenis pariwisata konferensi ini sehingga mereka saling berusaha untuk menyiapkan dan mendirikan bangunan-bangunan yang khusus diperlengkapi untuk tujuan ini atau membangun pusat-pusat konferensi lengkap dengan fasilitas mutakhir yang diperlukan untuk menjamin efisiensi operasi konferensi.
WIRAUSAHA
A. Pengertian wirausaha
a. Geoffrey G. Meredith et al (2000)
Para wirausaha adalah orang-orang yang mempunyai kemampuan melihat dan menilai kesempatan-kesempatan bisnis, mengumpulkan sumber-sumber daya yang dibutuhkan guna mengambil keuntungan dari padanya dan mengambil tindakan yang tepat guna memastikan sukses
b. Marzuki Usman, 1997:3
Wirausaha adalah Seseorang yang memiliki kemampuan dalam menggunakan sumberdaya seperti financial (money), bahan mentah (matrials), dan tenaga kerja (labors), untuk menghasilkan suatu produk baru, bisnis baru, proses produksi atau pengembangan organisasi
c. David Mc Clelland
Wirausaha adalah mereka yang melakukan upaya-upaya kreatif dan inovatif dengan jalan mengembangkan ide, dan meramu sumber daya untuk menemukan peluang dan perbaikan hidup. menurut David Mc Clelland Ada 9 Karakteristik Wirausaha yaitu :
1. Dorongan Berprestasi
2. Bekerja Keras
3. Memperhatikan Kualitas
4. Sangat Bertanggung Jawab
5. Berorientasi Pada Imbalan
6. Optimis
7. Berorientasi Pada Hasil Karya Yang Baik
8. Mampu Mengorganisikan
9. Berorientasi Pada Uang
B. Keuntungan & Kerugian Berwirausaha
Keuntungan dan kesrugian menurut ( menurut Geoffrey G. Merideth dan Peggi Lambing & Charles L Kuehl ) yaitu :
 KEUNTUNGAN
• Kesempatan untuk mengontrol jalan hidup sendiri dengan imbalan kepemilikan yang diperoleh dari kemerdekaan untuk mengambil keputusan dan resiko
• Kesempatan menggunakan kemampuan dan potensi diri secara penuh dan aktualita diri untuk mencapai cita-cita
• Kesempatan untuk meraih keuntungan tak terhingga dan masa depan yang lebih baik dengan waktu yang relatif lebih singkat
• Kesempatan untuk memberikan sumbangan kepada masyarakat dengan lapangan kerja dan pengabdian serta memperoleh pengakuan
• Otonomi (Pengelolaan yg bebas & tidak Terikat - “Boss”)
• Tantangan Awal dan Perasaan Motif Prestasi (Merupakan hal yg mengembirakan, peluang untuk mengembangkan konsep usaha yang dapat menghasilkan keuntungan, sangat memotivasi wirausaha)
• Kontrol Finansial (Bebas dalam mengelola keuangan dan merasa sebagai kekayaan sendiri)
 KERUGIAN
• Tidak ada kepastian pendapatan
• Resiko kehilangan modal/asset/investasi
• Meningngalkan zona kemapaman
• Pengorbanan Personal (Pada awal bekerja keras, sedikit waktu untuk kepentingan keluarga dan rekreasi)
• Beban Tanggung Jawab (Mengelola semua fungsi bisnis, baik pemasaran, keuangan, personil, dll)
• Margin Keuntungan Kecil & Kemungkinan Gagal (Mempergunakan Modal sendiri yang relatif kecil sehingga margin kecil)
C. Asas Pokok Kewirausahaan
a. Nyoman Rudana ( 2007 ) :
1. Mampu dan berani membuat keputusan dan mengambil resiko yang paling minimal.
2. Tekun, teliti dan produktif.
3. Kreatif dan inovatif.
4. Kebersamaan dan etika bisnis.
5. Kemauan kuat untuk berkarya dengan semangat mandiri serta siap bekerja keras.
6. Pantang menyerah

D. Dimensi Kewirausahaan
Kewirausahaan menyangkut tiga dimensi penting, yakni
1. Inovasi :
• mengacu pada pengembangan produk, jasa atau proses yang unik.
• memfokuskan perubahan pada dimensi sosial ekonomi perusahaan. berdasarkan pada kreativitas dan intuisi. Orang yang kreatif dan intuitif dikenal menyukai lingkungan kerja yang memberikan independensi dan otonomi yang tinggi.

2. Pengambilan resiko :
• mengacu pada kemauan aktif untuk mengejar peluang secara bekerja keras dengan adanya keinginan untuk berkembang.

3. Proaktif :
• Kewirausahaan sebagai pengambil risiko dan melakukannya, ketimbang sekedar bereaksi terhadap lingkungannya.
• Proaktif juga berkaitan dengan implementasi, melakukan apapun yang dilakukan untuk membawa konsep kewirausahaan pada pelaksanaan. Seorang wirausaha harus memiliki karakter dasar yaitu visi yang jauh kedepan yang menjadi dasar pendorong perubahan dan kemampuan mengkombinasikan berbagai sumberdaya untuk mewujudkan visinya menjadi sesuatu karya nyata. Seorang penulis membuat analogi bahwa mencari ciri seorang wirausahawan sama dengan mencari binatang mitos. Orang merasa mengetahui bentuknya, tetapi kalau dicari tidak bisa ditemukan di manapun.
PENGARUH PARIWISATA TERHADAP PERKEMBANGAN WIRAUSAHA
2.3.1 ANALISIS PENGARUH SOSIAL PARIWISATA TERHADAP WIRAUSAHA
A. Aspek Sosial wisata yang Tertinggal terhadap wirausaha
Pariwisata adalah fenomena kemasyarakatan, yang menyangkut manusia, masyarakat, kelompok organisasi, kebudayaan, dan sebagainya, yang merupakan objek kajian sosiologi. Namun demikian kajian sosiologi belum begitu lama dilakukan terhadap pariwisata, meskipun pariwisata sudah mempunyai sejarah yang sangat panjang. Hal ini terkait dengan kenyataan bahwa pariwisata pada awalnya lebih dipandang sebagai kegiatan ekonomi yang dilakukan oleh para wirausaha, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan ekonomi, baik bagi masyarakat wirausaha maupun daerah (negara).
Sebagaimana halnya dengan pembangunan pariwisata secara umum, ada beberapa hal yang menyebabkan para wirausaha kurang mendapat perhatian. Dengan mengikuti teori modernisasi klasik, pembangunan pariwisata di dunia ketiga umunya memberikan penekanan pada para wirausaha. Paradigma dan program-program yang memfokuskan perhatian pada para wirausaha seringkali bertentangan dengan program-program dengan penekanan aspek sosial. Dalam konflik kepentingan ini, aspek sosial lebih sering dikalahkan. Masih dalam kaitan dengan focus ekonomi yang ada pada wirausaha, salah satu tujuan setiap program pembangunan wirausaha adalah untuk mengejar produktivitas, dan dalam usaha ini wirausaha dipandang sebagai ‘faktor produksi’ yang mekanis, maka berbagai aspek sosial- manusia (wirausaha, dan budaya kurang mendapatkan perhatian dari pemerintah.
Faktor lain yang memarginalisasi para wirausaha adalah karena performance indicator (kinerja atau keberhasilan) umumnya diukur secara statistika atau kuantitatif. Sementara itu sebagian besar dari isu masyarakat wirausaha bersifat kualitatif, sehingga tidak termasuk dalam indikator keberhasilan ‘pembangunan’. Dengan demikian, pelaksanaan pembangunan tidak memberikan perhatian serius terhadap para wirausaha ini. Apalagi jika dilihat dalam perkembangan wirausaha diindonesia memang sangat sulit diukur. Kesulitan mengukur ini ditambah lagi dengan kesulitan menentukan ‘hasil’ dari program-program dalam bidang wirausaha sangat sulit diisolisasi, sehingga sulit juga untuk menentukan secara pasti adanya hubungan sebab-akibat (cause and effect) dalam pendapatan wirausaha, apalagi dalam waktu yang singkat.
Penggunaan perencana dari luar,sesuai dengan dalil-dalil teori modernisasi, sering secara tidak sadar membawa nilai-nilai luar apalagi nilai luar dalam pengaruh wisata, serta memaksakan penerapan nilai-nilai tersebut di daerah yang dibangun. Sifat etnosentrisme perencana dari luar pariwisata ini sering menihilkan budaya lokal. Etnosentrisme perencana (konsultan) luar pariwisata ini didukung kemudian oleh sentralisasi pengambilan keputusan, dimana masyarakat lokal tidak mempunyai peran di dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi hidup atau menentukan masa depan mereka.
Belakangan masyarakat wirausaha ini mulai diperhatikan, karena berbagai alasan. Di kalangan pemerintah, mulai muncul wacana bahwa pembangunan wirausaha tersebut sesungguhnya adalah untuk kemajuan negara, sebagai suatu proses belajar (social-learning process), dan dalam hal ini wirausaha merupakan pusat dan penggerak dalam motivasi suatu usaha, sekaligus untuk siapa pembangunan wirausaha tersebut dilakukan, sesuai dengan konsep people-centred development (David Korten, 1987). Jadi wirausaha bukan sekedar ‘faktor produksi’.
Kritik tajam juga banyak ditujukan kepada teori modernisasi klasik, dan mengingatkan akan pentingnya unsur non-material dalam pembangunan wirausaha, seperti human dignity (Julius Nyerere), social needsspiritual needs (Apthorpe). Menurut faham humanism, pembangunan wirausaha harus diusahakan untuk ‘memanusiakan manusia’, sebagaimana berkembang dalam wacana pembangunan wirausaha di Zambia dan Tanzania. Dalam pemanusiaan manusia ini, pembangunan wirausaha harus memberikan penghargaan terhadap nilai ‘rasa dan kerja keras’.
Pengalaman empiris diindonesia telah banyak membuktikan bahwa begitu banyak dana dan waktu dikeluarkan untuk melakukan ‘pembangunan untuk wisata’, tetapi mengalami kegagalan. Tidak jarang, pembangunan itu justru mengundang protes dari masyarakat yang berwirausaha di mana pembangunan tsb dilaksanakan (indigenous people). Kegagalan program yang tidak adaktif secara sosial-budaya ini memberikan pelajaran penting bagi para wirausaha, betapa aspek sosial-budaya untuk pariwisata harus mendapatkan tempat dalam perencanaan pembangunan usaha, bukan saja sebagai ‘aspek pinggiran’.
B. Pengaruh Sosial Pariwisata terhadap wirausaha
Pariwisata adalah suatu kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat wirausaha, sehingga membawa berbagai dampak terhadap masyarakat setempat yang ingin berwirausaha guna mendapatkan keuntungan. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat wirausaha mengalami metamorphose dalam berbagai aspeknya dalam suatu usaha. Pengaruh pariwisata merupakan wilayah kajian yang paling banyak mendapatkan perhatian dalam literatur, terutama pengaruh pariwisata terhadap masyarakat local yang ingin berwirausaha. Di lain pihak, pengaruh pariwisata terhadap wisatawan dan/atau negara asal wisatawan belum banyak mendapatkan perhatian.
Di Indonesia meskipun pariwisata juga bisa menyentuh berbagai aspek kehidupan masyarakat wirausaha secara politik, keamanan, dan sebagainya, pengaruh pariwisata terhadap masyarakat setempat dan daerah tujuan wisata yang banyak mendapat ulasan adalah:
• Pengaruh sosial ekonomi terhadap wirausaha.
• Pengaruh sosial-budaya pariwisata terhadap wirausaha.
a. Penggaruh Sosial Ekonomi terhadap wirausaha
Pengaruh pariwisata terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat wirausaha dapat dikategorikan menjadi delapan kelompok besar, yaitu:
• Pengaruh terhadap penerimaan devisa,
• Pengaruh terhadap pendapata masyarakat,
• Pengaruh terhadap kesempatan kerja,
• Pengaruh terhadap harga-harga,
• Pengaruh terhadap distribusi manfaat/keuntungan,
• Pengaruh terhadap kepemilikan dan control
• Pengaruh terhadap pembangunan pada umumnya, dan
• Pengaruh terhadap pendapatan pemerintah.
Hampir semua literatur dan kajian studi lapangan menunjukkan bahwa pembangunan pariwisata pada suatu daerah mampu memberikan pengaruh-pengaruh yang dinilai positif bagi para wirausaha, yaitu pengaruh yang diharapkan, bahwa peningkatan pendapatan wirausaha dari peningkatan penerimaan devisa, peningkatan kesempatan kerja dan peluang usaha, peningkatan pendapatan pemerintah dari pajak dan keuntungan badan usaha milik pemerintah, dan sebagainya. Pariwisata diharapkan mampu menghasilkan angka pengganda (multiplier effect) yang tinggi, melebihi angka pengganda pada berbagai kegiatan ekonomi lainnya. Meskipun sulit melakukan penghitungan secara pasti terhadap angka pengganda ini, dari beberapa daerah/negara telah dilaporkan besarnya angka pengganda yang bervarisasi.
Peranan pariwisata juga sangat besar di Indonesia yaitu : ( menurut Santosa, 2001), Devisa yang diterima secara berturut-turut pada tahun 1996, 1997, 1998, 1999, dan 2000 adalah sebesar 6,307.69; 5,321.46; 4,331.09; 4,710.22; dan 5,748.80 juta dollar AS. Pada tahun 2002 dan 2003, meskipun mengalami tragedi Kuta (Bom Bali), nilai devisa juga masih tetap tinggi, yaitu US$ 4.496 Milyard tahun 2002 dan US$ 4.307 Milyard tahun 2003 (Nirwandar, 2004).
Sebagai contoh Perananan pariwisata dalam pembangunan ekonomi DTW seperti Bali, yang memang sudah terkenal sebagai salah satu daerah tujuan wisata dunia, tidak perlu dipertanyakan lagi. Dengan tidak tersedianya sumber daya alam seperti migas, hasil hutan, ataupun industri manufaktur yang berskala besar, maka pariwisata telah menjadi sektor andalan dalam pembangunan usaha bagi para wirausaha. Kontribusi pariwisata menunjukkan trend yang semakin meningkat dari tahun ke tahun. Pada tahun 1985 penukaran valuta asing senilai 95,105 juta dollar AS. Angka ini mengalami kenaikan, menjadi 456,105 juta dollar AS pada tahun 1990, dan pada tahun1997 (sesaat sebelum krismon) menjadi 1.380,454 juta dollar AS. Selanjutnya, karena nilai tukar dollar yang melonjak, penukaran valuta asing hanya mencapai nilai 865,078 juta dollar AS pada tahun 2000.
Erawan (1999) menemukan bahwa pada tahun 1998, dampak pengeluaran wisatawan terhadap pendapatan wirausaha setempat mencapai 45,3%, sedangkan pengaruh dari investasi di sektor pariwisata adalah 6,3%. Ini berarti bahwa secara keseluruhan, pengaruh pariwisata menyumbang sebesar 51,6% terhadap pendapatan para wirausaha Bali. Dilihat dari kesempatan kerja, pada tahun 1998 sebesar 38,0% dari seluruh kesempatan kerja yang ada di Bali dikontribusikan untuk pariwisata. Ini terjadi dari kesempatan kerja yang ditimbulkan oleh pengeluaran wisatawan sebesar 36,1% dan akibat investasi di sektor pariwisata sebesar 1,9%. Angka 38% ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan dengan angka tahun1995 (yaitu sebesar 34,14%), dan nampaknya peningkatan akan terus terjadi dari tahun ke tahun. Erawan lebih lanjut mengatakan bahwa pengaruh pengeluaran wisatawan terhadap perekonomian bagi wirausaha di Bali terdistribusikan ke berbagai sektor, bukan saja hotel dan restoran tetapi hasil usaha yang bisa digeluti dari hasil kerajinan yang dibuat oleh para wirausaha dengan menggunakan peluang tersebut. Distribusi juga terserap ke sektor pertanian (17,93%), sektor industri kecil (22,73%), sektor pengangkutan dan komunikasi (12,62%), sektor jasa-jasa (12,59%), dan sebagainya. Hal ini sejalan dengan data mengenai distribusi pengeluaran wisatawan. Data menunjukkan bahwa selama di Bali, pengeluaran wisatawan yang terserap ke dalam ‘perekonomian rakyat khususnya bagi para wirausaha’ cukup tinggi.
Di samping berbagai pengaruh yang dinilai positif, hampir semua penelitian juga menunjukkan adanya berbagai pengaruh yang tidak diharapkan (pengaruh negatif), seperti semakin memburuknya kesenjangan pendapatan antar kelompok wirausaha, memburuknya ketimpangan antar daerah, hilangnya kontrol para wirausaha lokal terhadap sumberdaya ekonomi, munculnya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme, dan sebagainya. Banyak peneliti menyebutkan bahwa pariwisata telah menjadi wahana eksploitasi dari negara-negara maju (negara asal wisatawan) terhadap negara-negara berkembang (daerah tujuan wisata). Berbagai fasilitas wisata yang di DTW, sebagian besar adalah fasilitas yang diimpor dari negara asal wisatawan. Sebuah lukisan secara karikaturis menggambarkan bahwa muatan lokal dari kegiatan pariwisata sangat kecil, karena segala kebutuhan wisatawan maupaun aktivitas pendukungnya didatangkan dari berbagai negara maju. Berbagai fasilitas dimaksud antara lain:
“ Mobil didatangkan dari Jerman, computer dari Jepang, printer dari Hongkong, lampu dari Inggris, whisky dari Scotlandia, vodka dari Rusia, makanan dari Perancis, tas dari Itali, karpet dari Irlandia, fire equipment dari USA, furniture dari Swedia…” (Fennel, 1999: 164).
D. Pengaruh Sosial Budaya pariwisata bagi wirausaha
Secara teoritikal-idealistis, antara pengaruh sosial dan pengaruh kebudayaan dapat dibedakan. Namun demikian, Mathieson and Wall (1982:37) menyebutkan bahwa there is no clear distinction between social and cultural phenomena, sehingga sebagian besar ahli menggabungkan dampak sosial dan dampak budaya di dalam pariwisata ke dalam judul ‘dampak sosial budaya’ (The sosiocultural impact of tourism in a broad context).
Studi tentang pengaruh sosial budaya pariwisata selama ini lebih cenderung mengasumsikan bahwa akan terjadi perubahan sosial-budaya akibat kedatangan wisatawan, dengan tiga asumsi yang umum, yaitu:
1. perubahan dibawa sebagai akibat adanya intrusi dari luar, umumnya dari sistem social budaya yang superordinat terhadap budaya penerima yang lebih lemah;
2. perubahan tersebut umumnya destruktif bagi budaya indigenous;
3. perubahan tersebut akan membawa pada homogenisasi budaya, dimana identitas etnik lokal akan tenggelam dalam bayangan sistem industri dengan teknologi barat, birokrasi nasional dan multinasional, a consumer-oriented economy, dan jet-age lifestyles.
Asumsi di atas menyiratkan bahwa di dalam melihat pengaruh sosial-budaya pariwisata terhadap para wirausaha setempat, pariwisata semata-mata dipandang sebagai faktor luar yang menghantam masyarakat. Asumsi ini mempunyai banyak kelemahan. Sebagaimana dikemukakan oleh Wood (1984), selama ini banyak peneliti yang menganggap bahwa pengaruh pariwisata dapat dianalogikan dengan ‘bola-bilyard’, di mana objek yang bergerak (pariwisata) secara langsung menghantam objek yang diam (kebudayaan daerah), atau melalui objek perantara (broker kebudayaan). Dalam hal ini tersirat juga asumsi bahwa kebudayaan adalah sesuatu yang diam, tidur, atau pasif, dan seolah-olah kebudayaan tersebut adalah sesuatu yang homogen. Pendekatan seperti ini mengingkari dinamika para wirausaha dimana pariwisata mulai masuk, dan tidak mampu melihat berbagai respons aktif dari wirausaha terhadap pariwisata.
Secara teoritis,di Indonesia mengelompokkan pengaruh sosial budaya pariwisata ke dalam sepuluh kelompok besar, yaitu:
1. Pengaruh terhadap keterkaitan dan keterlibatan antara wirausaha setempat dengan para wirausaha yang lebih luas, termasuk tingkat otonomi daerah atau ketergantungannya;
2. Pengaruh terhadap hubungan interpersonal antara para wirausaha;
3. Pengaruh terhadap dasar-dasar organisasi/kelembagaan sosial;
4. Pengaruh terhadap migrasi dari dan ke daerah pariwisata;
5. Pengaruh terhadap ritme kehidupan sosial masyarakat;
6. Pengaruh terhadap pola pembagian kerja;
7. Pengaruh terhadap stratifikasi dan mobilitas sosial;
8. Pengaruh terhadap distribusi pengaruh dan kekuasaan;
9. Pengaruh terhadap meningkatnya penyimpangan-penyimpangan sosial; dan
10. Pengaruh terhadap bidang kesenian dan adat istiadat.
Sifat dan bentuk dari Pengaruh sosial-budaya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor yang ikut menentukan dampak sosial budaya tersebut adalah sebagai berikut:
1. Jumlah wisatawan, baik absolute maupun relatif terhadap jumlah penduduk lokal;
2. Objek dominan yang menjadi sajian dari para wirausaha untuk wisata (the tourist gaze) dan kebutuhan wisatawan terkait dengan sajian tersebut;
3. Sifat-sifat atraksi wisata yang disajikan dengan situasi alam, apakah alam, situs arkeologi, budaya kemasyarakatan, dan seterusnya;
4. Struktur dan fungsi dari organisasi kepariwisataan di DTW;
5. Perbedaan tingkat ekonomi dan perbedaan kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat lokal;
6. Perbedaan kebudayaan atau wisatawan dengan masyarakat lokal;
7. Tingkat otonomi (baik politik, geografis, dan sumberdaya) dari DTW;
8. Laju/kecepatan pertumbuhan pariwisata;
9. Tingkat perkembangan pariwisata (apakah awal, atau sudah jenuh);
10. Tingkat pembangunan ekonomi DTW;
11. Struktur social dalam kerajinan masyarakat local untuk disajikan dalam berwirausaha untuk para wisata;
12. Tipe resort yang dikembangkan (open ataukah enclave resorts)
13. Peranan pariwisata dalam ekonomi DTW.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pariwisata telah merusak atau ‘menghancurkan’ kebudayaan lokal. Pariwisata secara tidak langsung ‘memaksa’ ekspresi kebudayaan lokal untuk dimodifikasi, agar sesuai dengan kebutuhan pariwisata. Ekspresi budaya dikomoditifikasi agar dapat ‘dijual’ kepada wisatawan.
Untuk pariwisata Indonesia khususnya daerah Bali banyak yang mengkhawatirkan akan terjadi pengikisan kebudayaan akibat kebudayaan asing yang menyerbu masuk yang menyebabkan terjadinya pendangkalan terhadap kualitas kebudayaan Bali serta hilangnya bentuk-bentuk sosial yang telah terbukti mampu menopang integritas masyarakat Bali.
Sedangkan pengaruh negatif yang sering dikhawatirkan terhadap budaya masyarakat lokal antara lain komodifikasi, peniruan dan profanisasi. pengaruh pariwisata terhadap budaya masyarakat lokal seperti di atas akan terjadi karena dilandasi tiga hal. Pertama, masyarakat lokal ingin memberikan hasil karya seni ataupun kerajinan yang bermutu tinggi kepada wisatawan sebagai pembeli. Kedua, untuk menjaga citra sekaligus menunjukkan indentitas budaya lokal kepada dunia luar. Ketiga, masyarakat wirausaha ingin memperoleh uang akibat meningkatnya komersialisasi. (Graburn: 2000 : 339) Kajian lintas budaya tentang hasil karya seni dan komponen budaya lainnya yang berhubungan langsung dengan kegiatan pariwisata sangat menarik untuk dilakukan. Terutama dalam kaitannya dengan pengembangan pariwisata budaya di Bali. Hal ini penting dalam upaya mencari strategi dan solusi guna mengurangi pengaruh negatif yang mungkin timbul terhadap kebudayaan Bali.
Menurut Dalton (1990, dalam Picard, 1990: 26) mengatakan:
“Karena gejala komersialisasi, sebagai salah satu pengaruh pariwisata, telah menyusupi semua aspek kehidupan orang Bali, maka jelaslah sekarang bahwa jalinan sosial dan keagamaan Bali yang begitu kompleks, ketat dan rapi, akhirnya tercerai berai di bawah pengaruh pariwisata”.
Namun tidak semua pengamat pesimis terhadap keberlanjutan kebudayaan Bali. Bahkan cukup banyak ahli sosiologi dan antropologi yang melihat sebaliknya. McKean (1978: 94) menyatakan bahwa perubahan sosial ekonomi sedang terjadi di Bali terjadi secara bergandengan tangan dengan usaha konservasi kebudayaan tradisional. Pariwisata pada kenyataanya telah memperkuat proses konservasi, reformasi, dan penciptaan kembali berbagai tradisi. McKean menilai bahwa pariwisata secara selektif telah memperkuat tradisi lokal, melalui suatu proses yang disebut cultural involution (involusi kebudayaan). Stephen Langsing (1974) secara tegas mengatakan bahwa lembaga tradisional Bali mempunyai vitalitas dan kemampuan yang tinggi untuk beradaptasi terhadap kondisi-kondisi baru. Dikatakannya bahwa dampak pariwisata di Bali adalah bersifat aditif, dan bukan substitutif. Artinya, dampak tersebut tidak menyebabkan transformasi secara struktural, melainkan terintegrasi dengan kehidupan tradisional masyarakat.
Bagus, di sela-sela ke-khawatirannya terhadap berbagai pengaruh negatif, juga mengakui adanya kenyataan bahwa pariwisata telah memberikan kesadaran tentang nilai seni-budaya yang mendorong orang Bali untuk melestarikan kebudayaan, dan bahkan pariwisata telah “mendorong kreativitas dalam berbagai bidang”.
Dengan temuan-temuan lapangan seperti ini maka tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa kebudayaan Bali sampai saat ini masih sangat kuat melekat pada identitas orang Bali, dan kekhawatiran bahwa simpul-simpul budaya telah tercerai-berai tidaklah benar. Bahkan pada beberapa sisi, dapat dikatakan bahwa kebudayaan Bali mengalami take-off menuju masa pencerahan (enlightenment). Data lapangan seperti ini telah banyak mengubah pandangan orang yang semula bersikap pesimistis terhadap kelestarian kebudayaan Bali.
Sebenarnya bali merupakan salah satu contoh nyata daerah wisata yang berkembang amat pesat di Indonesia. Banyaknya turis-turis yang berkunjung ke Bali, baik turis domestik maupun internasional telah membawa pengaruh yang cukup besar bagi perkembangan masyarakatnya khususnya bagi pawa wirausaha itu sendiri. Dari segi ekonomi, sumbangan untuk devisa negara seakan tak pernah berhenti dari daerah wisata ini.
Bahkan masyarakat lokal pun dapat memenuhi kebutuhannya sendiri dari sektor pariwisata ini. Sedangkan dari segi sosial budaya, Bali merupakan sarana yang tepat bagi pengenalan dan promosi kebudayaan Indonesia kepada dunia internasional. Dari contoh ini maka dapat diambil kesimpulan bahwa pariwisata secara langsung turut membawa pengaruh yang positif bagi perkembangan masyarakat dan negara, baik secara ekonomi maupun sosial budaya.

SARAN SAYA TERHADAP PEMERINTAH !!!
Demi untuk meningkatkan perkembangan pariwisata di indonesia penulis ingin sekali menganjurkan kepada pihak pemerintah untuk selalu turun aktif dalam meningkatkan Kualitas dan Kebutuhan daya Tarik Wisata, Kualitas Sosial Dan Ekonomi Kawasan Untuk Kesejahteraan Masyarakat, serta penulis juga menganjurkan kepada pihak masyarakat yang ada dalam daerah wisata harus senantiasa memanfaatkan dengan sebaik-baiknya dalam menjaga Keseimbangan Pembangunan Antara Pelestarian Ekosistem Pemanfaatan Sumber Daya Alam Dan Pengembangan Masyarakat Bahari untuk menumbuhkannya para wisatawan yang datang ke indonesia dan bermanfaat bagi wirausaha supaya meningkatnya jumlah devisa demi untuk kesejahteraan dan kemakmuran Negara yang pada intinya penulis mengharapkan pada semua orang agar Jiwa kewirausahaan hendaknya dibudayakan di berbagai lingkungan masyarakat Indonesia, karena dengan berwirausaha, kita tidak lagi tergantung pada ketersediaan lapangan kerja yang ada, bahkan mampu menyediakan lapangan pekerjaan bagi orang lain.

DAFTAR PUSTAKA
Alma, Buchari. 2000. Kewirausahaan. Bandung: Alfabeta
Global tourism growth and employment between 1990 and 1993 reported in “Travel & Tourism Is Top Employer,” Travel Weekly, April 6, 1992
Idrus M. Syafiie, 1999. Strategi Pengembangan Kewirausahaan. Malang: (Entreprenuer-ship)
Jonathan, Sarwon. 2006 Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta: Graha Ilmu
Sigit, Suhardi. 1980. Mengembangkan Kewirausahaan. Yogyakarta: Universitas Gajah Mada
Spillane, James. 1987. Ekonomi Pariwisata: Sejarah dan Prospekny. Yogyakarta: Kanisius
Undang-undang No. 9 Tahun 1990. Objek dan Daya Tarik Wisata. (Departemen Pariwisata, Pos dan Telekomunikasi, 1990)

Tidak ada komentar: